Menjadi Burung Merpati
Muhamad Kusuma Gotansyah, Seorang gitaris muda kelahiran Tangerang yang berambisi untuk membuka mata dunia dengan musiknya. Penampilan debutnya adalah di selamatan sunat anak tetangga, debut yang berjalan dengan cukup sukses.
Hening malam menjelma menjadi bising saat jam kota berbunyi dua belas kali. Aku tidak peduli. Langkahku masih pelan, nafasku masih lembut, dan tubuhku masih lelah. Penampilan malam ini memberiku cukup uang untuk nanti membelikan hadiah untuk Naima, anak perempuanku yang dua hari lagi akan menginjak usia empat belas tahun.
Langkahku pun berhenti di depan sebuah flat berwarna hitam dengan pintu kayu yang sudah mulai lapuk. Membuka pintu flat itu adalah sebuah kegiatan yang menyebalkan, karena suara derik pintu yang ia ciptakan dapat membuyarkan isi pikiran yang sedang berkecamuk, apalagi dalam hening malam yang suara serangga mati saja dapat terdengar dengan jelas. Namun apapun keresahanku, pintu itu aku buka juga perlahan-lahan.
Walau perlahan suara deriknya yang menyebalkan itu tetap membunuh, terlebih lagi saat aku melihat sesosok gadis remaja berambut hitam lurus berdiri di hadapanku setelah pintu ini kubuka sembilan puluh derajat. Gadis remaja itu menyilangkan kedua lengannya di depan dadanya sembari memandangku tajam. Gadis itu mengenakan gaun tidur berwarna putih dan kaus kaki berwarna hijau yang terbuat dari wol. Gadis itu adalah Naima, anak perempuanku.
“Ayah mengapa terlambat lagi?” keluhnya dengan suara yang kesal dan sedih.
“Maaf Naima… Ayah sedang bekerja…” jawabku lembut dan perlahan.
“Tadi Naima mencoba masak, agar kita tidak selalu beli makanan di luar. Naima sudah memasakkan buat Ayah, tetapi sudah dingin dan akhirnya Naima berikan pada pengemis di ujung jalan sana.”
“Kamu baik sekali kepada pengemis itu.”
“Tetapi Yah, makanan itu aku masakkan untuk Ayah!” kini suaranya sedikit mengeras dan terlihat air mata mengalir lembut pada ujung mata kanannya.
“Maafkan Ayah ya… Tadi Ayah bekerja buat membelikanmu hadiah, dua hari lagi kan kamu ulang tahun.”
“Hadiah yang Naima inginkan hanya ingin bersama Ayah! Mendengarkan musik bersama dan makan malam bersama dan hal lainnya bersama, hanya itu Ayah! Memang benar kata Ibu, Ayah lebih suka mementingkan dirinya sendiri!”
Aku sangat tidak suka saat anakku marah padaku karena aku pulang terlambat, pada akhirnya ia pasti mengungkit kembali kata-kata Ibunya pada masa lalu.
“Naima, Ayah tidak suka kalau kamu teriak-teriak seperti ini, apalagi membawa-bawa nama Ibu!”
Dan Naima pun kesal mendengar kalimatku itu. Terjadi pertengkaran di antaraku dan anak perempuanku itu. Tak lama setelah itu, pertengkaran diakhiri oleh Naima lari ke kamar tidurnya dengan kesal lalu menutupnya dengan keras dan ia kunci. Aku menghampiri pintu kamarnya dan mengetuknya tiga kali, dan ketiga ketukan itu tak dijawab olehnya.
Aku terdiam sejenak dan akhirnya melangkah pelan menuju ruang kerjaku yang tidak berpintu, melainkan bertirai kelabu yang tembus pandang, sembari menikmati lelahku yang kini semakin liar. Kuletakkan tas saksofonku yang dari tadi kujinjing di samping piano yang terletak di pojok kanan depan ruanganku ini. Akupun duduk di kursi piano itu dan termenung sejenak. Terlihat olehku sebuah figura di atas piano itu. Pada figura itu adalah foto ibu Naima, yang tiga tahun sebelumnya telah meninggal dunia. Untuk mengalihkan pikiran yang mulai melanglang buana aku berdiri kembali dan berjalan menuju pemain vinyl yang terletak di atas sebuah meja yang berada di sudut ruangan yang berlawanan dengan pianoku. Sebuah vinyl sudah terpasang di dalamnya, dan aku pun memainkannya. Alunan lagu milik Charlie Parker yang berjudul Au Privave pun bermain, sungguh sebuah komposisi yang indah.
Ah, Charlie Parker. Sang pemain saksofon handal yang sangat legendaris. Aku pun memandang ke dinding di hadapanku, dimana terpampang sebuah poster album Bird on 52nd Street milik Charlie Parker. Aku menghela nafas panjang, menyesali diriku yang kian tak dapat mencapai kepiawaian jazz sehebat legenda yang dijuluki ‘Bird’ itu. Menyesali diriku yang hingga kini hanya dapat bermain di kafe-kafe pusat kota hingga tengah malam. Juga menyesali perlakuanku pada anak gadis semata wayangku.
Namun aku mencoba tidak peduli dan menutup mata, berusaha tidur lelap diiringi alunan saksofon alto milik Charlie Parker yang menakjubkan.
Hingga pada pagi hari pukul 7 aku terbangun dengan bunyi kepakan sayap burung yang terdengar dari luar jendela ruanganku ini. Aku terkejut karena suara itu bukan berasal dari seekor burung saja namun sekawanan burung yang beranggotakan kira-kira lima hingga tujuh ekor burung merpati. Namun, aku tidak begitu memedulikannya dan segera membawa tas saksofonku lalu melihat pemain vinylku yang masih berputar kemudian menghentikannya dan keluar ruanganku ini tanpa memikirkan begitu panjang tentang burung-burung merpati tadi. Seketika aku melihat Naima sedang sarapan di meja makan, maka aku berhenti sejenak dan mengatakan bahwa aku perlu pergi karena ada janji dengan seorang teman.
“Naima, maafkan Ayah ya… sekarang Ayah ingin pergi dulu.”
Naima tidak memedulikanku dan tetap tekun menikmati sarapannya yang ia buat sendiri. Di samping piring sarapannya terdapat satu lagi piring dengan beberapa tangkup roti di atasnya.
“Ah, Naima sudah buatkan Ayah sarapan juga ya. Tetapi maaf Naima, Ayah sudah terlambat, nanti Ayah usahakan pulang cepat dan kita makan malam bersama ya, tetapi Naima yang masak…”
Dia tetap tak peduli. Aku pun tak bisa berkata apa. Kulanjutkan langkahku keluar rumah dengan langkah-langkah besar.
Temanku itu tidak terlalu akrab denganku, ia adalah seorang pemain double-bass yang kerap tampil bersamaku. Dia kemarin malam mengundangku datang ke rumahnya untuk berlatih buat penampilan malam ini.
Saat aku sampai di depan rumahnya dan mengetuk pintunya, ia membukakan pintu dan menyapaku, dan bertanya mengapa wajahku terlihat begitu kusut. Aku menjawab dengan senyum penuh ketidak ikhlasan, dan ia pun dengan kikuk mempersilahkan aku untuk masuk. Aku melihat ada seorang pemain drum dan piano yang sedang bersiap sedia di ruang tengah rumah ini. Temanku itu pergi sebentar seraya berkata padaku untuk juga ikut bersiap-siap, maka aku pun mengeluarkan saksofon altoku dari dalam tasnya, mengelap mouthpiecenya dan mulai memainkan beberapa not secara kromatik. Mulai dari Db, D, Eb, E, F lalu F#, dan G hingga Ab, mencoba menciptakan suara yang jernih dan bersih di setiap not tadi.
Si penghuni rumah datang kembali dan berkata bahwa dia akan memimpin latihan ini. Dan ia pun mulai dengan memberikan beberapa perintah pada kami.
“Kita akan bermain lagu Cherokee. Alfin, mainkan simbal dengan ritme yang jelas, jangan seperti kemarin. Harbi, pelankan sedikit permainanmu saat Desha sedang solo. Dan Desha, mainkan improvisasi yang bagus dan berhati-hati dengan bagian B lagu ini,” seraya tersenyum padaku, namun aku tidak memedulikan senyumnya dan hanya terdiam.
Tak lama setelah itu sang pemain drum memberi ketukan awal dengan kedua stiknya dalam birama 4/4 sebanyak dua kali, lalu kami langsung mulai memainkan Cherokee. Hingga pada saat temanku itu memberi tanda padaku untuk memulai soloku. Aku memulai soloku pada bagian A dengan beberapa frasa kromatik dan pentatonik yang agak monoton sehingga sang pemain piano memandangku bingung. Dan akhirnya pada bagian B aku memainkan not yang salah, dan semua pemain berhenti bermain mendadak.
“Temanmu itu mengapa Moer?” ujar sang pemain piano yang sejujurnya tidak begitu kukenal pada temanku.
“Baiklah tidak apa-apa, kita mulai lagi. Serius Desha.” Ujar Moer padaku.
Dan kami memulai permainan lagi. Namun kali ini pada awal improvisasiku aku tidak lagi memainkan nada-nada monoton, sehingga kepercayaan diri tumbuh padaku. Dan aku pun berhasil memainkan beberapa nada dengan baik selama 4 birama pada bagian B, tetapi kembali lagi aku gagal. Semua pemain mulai kesal denganku. Moer tidak berkata apa-apa selain ‘mari ulang kembali’. Dan hal ini terjadi berulang terus hingga pukul 2 siang.
Mereka sangat kesal padaku. Mereka bahkan telah menelepon seorang teman untuk menggantikanku malam nanti jika aku merusak penampilan. Aku pun semakin kesal pada mereka dan diriku sendiri. Mereka akhirnya tak lagi mau latihan dan pergi keluar untuk merokok. Saat pemain piano dan drum sudah keluar lebih dahulu, Moer datang dan mengajakku keluar, namun ia tidak menawarkan rokok karena tahu aku tidak merokok, hanya mengajakku untuk istirahat sejenak. Tetapi aku tetap menolak dan memutuskan untuk berlatih di dalam, berlatih lama sekali hingga pukul 8 malam, dan pada pukul 8 malam itu pulalah mereka datang kembali dan langsung mengajakku ke kafe yang terletak beberapa meter dari sini.
Kami memasuki ruangan belakang panggung khusus penampil pada awal memasuki kafe tersebut, dan disitulah aku melihat mereka menyapa seseorang yang sedang mengelap bagian-bagian saksfonnya. Tanpa perlu dijelaskan aku sudah tahu apa perannya di sini, dan aku berusaha keras tidak memedulikannya.
Akhirnya nama kami dipanggil satu persatu untuk maju menampilkan permainan kami. Kemudian Moer yang berperan sebagai pemain double-bass sekaligus pemimpin kumpulan memulai dengan beberapa kalimat basa-basi yang sudah tak ada bedanya lagi di telingaku dengan suara derik pintu flatku. Dan kami pun mulai memainkan Cherokee.
Setelah bermain sepanjang 60 birama, sampailah aku pada empat birama terakhir menuju soloku. Keringat mulai mengucur deras, padahal ruangan ini lengkap dengan pendingin ruangan yang mahal dan mewah. Beberapa frasa pentatonik yang disinkopasi kumainkan pada 8 birama pertama soloku, dan berlanjut hingga akhirnya kami memasuki bagian B. Para penonton memperhatikan lebih seksama, para pemain memandangku penuh harapan, dan keringatku mengucur semakin deras.
Dan akhirnya 4 birama pertama kumainkan dengan sangat indah. Tangga nada mode Dorian yang kumainkan secara legato terdengar begitu bersih, dan kulanjutkan permainanku yang kian indah. Tanpa kusadari mataku yang dari tadi kututup mulai terbuka, dan mulai memadang para penonton sambil sedikit tersenyum. Lalu mataku berhenti pada jendela kafe ini. Terdapat dua ekor burung merpati yang menabrak-nabrakkan kepala mereka pada jendela itu. Entah mengapa aku memandang mereka penuh kebingungan dan aku pun terdiam selama satu birama penuh. Tiba-tiba sang pemain drum berteriak padaku dengan kesal untuk melanjutkan soloku. Dengan terkejut aku mencoba memulai lagi soloku.
Not yang salah dan tidak enak didengar kumainkan pada saat itu. Aku cemas dan berusaha memperbaikinya, namun dari dulu aku tidak terbiasa melanjutkan permainan saat aku membuat kesalahan. Lalu, Di antara musik pengiring oleh piano, double-bass, dan drum serta desis bisikan-bisikan penonton yang nyinyir tiba-tiba sebuah simbal jatuh tepat di depan telapak kakiku yang terbalut sepatu moccasin. Suara simbal itu menghentikan semua musik dan membungkam semua bisikan-bisikan. Aku menoleh pada sang pemain drum yang melempar simbal itu. Wajahnya garang, nafasnya terdengar buas, dan matanya memandangku sangat tajam, setajam pandangan Simona padaku kemarin malam.
“Moer! Suruh dia keluar!” teriak sang pemain drum pada Moer yang lalu menoleh padaku dan memberi tanda dengan kedua matanya agar aku keluar panggung.
Aku pun keluar lalu melihat pemain saksofon tadi mengambil tempatku di panggung. Aku kesal dan menyesal. Saksofon yang kupegang kumasukkan kembali pada tasnya dengan kasar. Ah, Charlie Parker pun pernah dilempari simbal di dekat kakinya oleh Jo Jones, siapa tahu peristiwa yang menimpaku ini adalah sebuah permulaan untukku menjadi sepertinya. Namun rasa keyakinan itu kutepis serta merta, dan aku pun berjalan keluar kafe dan melangkahkan kakiku ke hening malam. Saat aku berjalan di pinggiran kafe menuju rumah, jam kota kembali berbunyi sebanyak dua belas kali, dan seperti biasa aku tidak peduli. Hanya saja ada sesuatu yang menarik pikiranku, yaitu suara asing yang ikut tampil selain bunyi jam kota. Suara itu terdengar seperti suara kepakan sayap dan terdengar sungguh ramai.
Seekor burung merpati tiba-tiba melaju tepat di samping kanan wajahku saat aku sedang berjalan. Aku terkejut dan melihat ke arah ia terbang, seraya mengumpatnya karena aku menganggap dialah perusak soloku. Tak lama setelah itu seekor lagi burung merpati terbang dengan cepat di atas kepalaku. Dalam waktu yang singkat beberapa ekor burung merpati lagi terbang susul-menyusul ke arah yang sama, entah kemana mereka tengah malam seperti ini pikirku. Saat itu seekor burung merpati lagi datang dengan cepat, namun kali ini menabrak tangan kananku yang sedang membawa tas saksofonku hingga ia terjatuh. Aku pun berteriak kesal padanya, pada seekor burung merpati yang tidak tahu apa-apa. Aku berniat mengangkat kembali tasku itu, tetapi seekor lagi terbang menabrak tas itu dan membuatnya bergerak menjauh saat aku ingin memegangnya. Lalu seekor lagi, dan seekor lagi, sehingga tas itu terus bergerak menjauh dariku setiap aku ingin memegangnya. Kekesalan memuncak padaku dan aku menoleh ke belakang dengan amarah yang liar.
Tidak kusangka di belakangku terdapat puluhan, mungkin ratusan burung merpati yang sedang terbang mengarah pada tas saksofonku. Aku menyilangkan kedua lenganku di depan mataku saat mereka datang, dan saat aku mencoba melihat kembali ternyata mereka mengambil tas saksofonku. Aku tidak mengerti akan apa yang sedang terjadi dan dengan cepat mengejar mereka. Larianku kalah jauh dengan mereka, namun aku masih dapat melihat mereka. Kejar-kejaran ini berlangsung sangat lama, dari pinggiran kafe tadi, hingga ke dekat sebuah restoran Turki, lalu ke toko buku, dan sebuah toko vinyl.
Entah mengapa, kakiku tidak sedikit pun lemas saat mengejar burung – burung merpati itu, bahkan terasa lebih ringan, seakan sedang terbang rendah. Namun pada sebuah perempatan jalan raya yang pada waktu seperti sekarang tidak ada satu pun kendaraan, aku melihat seorang gadis remaja sedang berkeliaran seorang diri. Dia adalah anakku, Naima.
“Naima! Mengapa Naima keluar pada tengah malam seperti ini?”
“Ayah! Naima ingin mencari Ayah! Ayah terlambat lagi!” tangis Naima padaku.
“Ayah kemana saja? Aku sudah memasakkan makan malam, tetapi terpaksa kuberi lagi pada pengemis itu lantaran Ayah tak datang-datang juga…”
“Naima… Burung – burung tadi…” ucapku berusaha menjelaskan.
“Burung – burung merpati itu mencuri saksofon Ayah!”
Naima mengernyitkan dahi terkejut. Tanpa menunggu lama aku pun dengan spontan menggenggam lengan kanannya dan mengajaknya bersama mengejar burung – burung itu.
“Ayah kita mau kemana?”
“Ayah juga tidak tahu, dan ingin tahu. Namun begitu Ayah ingin mencari tahu tujuan kita ini bersamamu Naima!”
Seketika terlihat senyum yang diikuti tetesan air mata pada mata di wajah Naima saat mengikutiku mengejar burung – burung itu. Perlahan larian kami berdua semakin cepat.
Hingga akhirnya pengejaran ini sampai pada sebuah pantai di ujung kota. Pantai ini bukan pantai mewah yang terurus dan juga bukan tempat rekreasi yang baik. Burung-burung tadi terus terbang sehingga kami tidak menyadari bahwa mereka menuju ke sebuah dermaga. Kami terus mengejar sehingga baru sadar bahwa pasti akan tenggelam jika terus mengejar mereka hingga ke ujung dermaga ini. Namun sudah terlambat karena kaki kananku dan kaki kiri Naima sudah mencapai ujung dermaga dan akhirnya kami pun sudah tidak lagi berada di atas dermaga, namun bukan tenggelam di air pantai melainkan terbang di udara mengikuti para burung. Terbang!
Kami merasa lebih ringan dan cepat, secepat burung-burung merpati yang kami kejar. Kulihat Naima tertawa terkesima, dengan air matanya semakin deras. Dan burung – burung itu semua terbang dan mendarat di sebuah pulau kecil yang terletak agak jauh dari pesisir pantai. Di pulau itulah mereka mejatuhkan tas saksofonku dan saat itu juga aku dan Naima mendarat untuk mengambil tas itu. Mereka mengelilingiku dan Naima serta tas saksofonku itu. Aku menyuruh Naima untuk berdiri menunggu sebentar sementara aku mengambil tas saksofonku. Saat aku menjulurkan tangan kananku pada tas itu untuk mengambilnya, betapa terkejutnya aku. Tanganku telah menjadi sebuah sayap yang berbulu kelabu. Dengan tak percaya aku menoleh pada tangan kiriku dan juga melihatnya menjadi sayap dengan bulu yang persis sama. Lalu aku berjalan ke dekat air dan meihat pantulan wajahku yang ada pada air. Wajahku berubah menjadi kelabu, dengan sepasang mata yang kecil dan paruh yang moncong. Lalu kau menoleh pada Naima. Ia pun sama denganku. Ia juga terkejut melihatku, kami berdua terkejut melihat diri kami masing-masing.
Aku mendekati Naima dan memeluknya. Naima menyambut pelukku dengan ikhlas. Kehangatan pada saat itu membuatku melupakan segalanya pada malam-malam sebelumnya. Aku dan Naima kini telah berubah bersama. Kami menjelma menjadi mimpi. Menjelma menjadi ‘Bird’. Menjadi Charlie Parker.
Kuala Lumpur, 10 Januari 2017